Penggunaan bahan kimia sintetis yang intensif selama puluhan tahun telah mengakibatkan fenomena “tanah mati”—lahan yang kehilangan struktur, biota mikroorganisme, dan kemampuan alamiahnya untuk menopang kehidupan tanaman secara berkelanjutan. Namun, kini hadir optimisme baru melalui pendekatan Revolusi di Bawah Kaki. Kunci dari upaya pemulihan ini adalah implementasi Strategi Organik, serangkaian praktik ramah lingkungan yang bertujuan untuk membangun kembali fondasi ekologis dan kesuburan tanah dari nol. Strategi Organik ini berprinsip pada peningkatan kandungan Bahan Organik Tanah (BOT), yang menjadi jantung dari setiap ekosistem pertanian yang sehat dan produktif. Keberhasilan pemulihan ini sangat bergantung pada komitmen petani dan dukungan sistematis dari pemerintah serta lembaga terkait.
Pilar pertama dalam Strategi Organik adalah masifnya penambahan bahan organik. Tanah yang dianggap “mati” seringkali memiliki kandungan BOT yang sangat rendah, bahkan di bawah 2%. Padahal, BOT adalah gudang air, nutrisi, dan rumah bagi biota tanah. Untuk merehabilitasinya, petani didorong untuk menggunakan pupuk organik, seperti kompos matang, pupuk kandang, atau kascing (bekas cacing). Contohnya, pemberian pupuk kandang dari kotoran sapi atau kambing, yang telah melalui proses pengomposan selama minimal 3-4 bulan (untuk mengurangi rasio C/N yang tinggi dan mematikan bibit penyakit), secara bertahap akan meningkatkan aktivitas mikrobiologis. Mikroorganisme seperti bakteri dan jamur akan mengurai bahan organik ini, melepaskan unsur hara penting seperti Nitrogen (N), Fosfor (P), dan Kalium (K), sekaligus menghasilkan humus yang berperan penting dalam memperbaiki agregat tanah.
Pilar kedua adalah praktik konservasi tanah. Tanah mati sangat rentan terhadap erosi, terutama erosi air di lahan miring. Strategi Organik mengadopsi teknik seperti penanaman tanaman penutup tanah (cover crop)—misalnya jenis kacang-kacangan—yang akarnya dapat mengikat partikel tanah dan daunnya melindungi permukaan tanah dari dampak langsung air hujan. Selain itu, penggunaan mulsa organik, seperti jerami atau sisa-sisa tanaman kering, sangat dianjurkan. Selain menjaga kelembaban dan menekan pertumbuhan gulma, mulsa yang terdekomposisi perlahan akan menyumbang bahan organik secara berkelanjutan, membantu proses pemulihan struktur fisik tanah, menjadikannya lebih gembur dan berpori.
Pilar ketiga adalah rotasi tanaman dan penggunaan pupuk hayati. Tanah yang ditanami jenis tanaman yang sama secara terus-menerus akan mengalami penipisan nutrisi spesifik. Melalui rotasi, kebutuhan nutrisi yang berbeda pada setiap tanaman dapat menciptakan keseimbangan hara. Misalnya, menanam kacang-kacangan (tanaman leguminosa) setelah panen padi dapat membantu mengikat nitrogen bebas di udara ke dalam tanah melalui bakteri Rhizobium pada akarnya. Selain itu, pengaplikasian pupuk hayati yang mengandung bakteri pengurai atau penambat N ke tanah sangat penting untuk menghidupkan kembali “biologi” tanah. Sebuah studi kasus di lahan pertanian padi di Jawa, seperti yang dilaporkan oleh lembaga penelitian pertanian pada tanggal 20 September 2025, menunjukkan bahwa penggunaan pupuk organik cair yang dikombinasikan dengan pupuk hayati terbukti mampu meningkatkan hasil panen hingga 30% dan memperbaiki kualitas tanah dalam satu musim tanam. Revolusi di bawah kaki ini membutuhkan waktu dan kesabaran, namun menjanjikan masa depan pertanian yang lebih mandiri dan berkelanjutan, jauh dari ketergantungan pada input kimiawi yang merusak.